Senin, 17 Juni 2013

NORMALISASI PENDIDIKAN INDONESIA YANG BERAKAR PADA NILAI-NILAI BUDAYA Published : 23.31 Author : Heru Nurrohman Saya mencoba membuat sebuah tulisan fenomena yang terjadi belakangan ini dan terus berlangsung sampai pada tulisan ini dibuat, ini merupakan bentuk keprihatisan saya sebagai pendidik yang memiliki keinginan melihat pendidikan di Indonesia dapat menjadi "obat" dan senjata ampuh dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. ______________________________________________________ _____________________________________________ Keragaman budaya merupakan kenyataan yang ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Keragaman budaya memberikan makna unik bagi kehidupan bangsa, yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya, yang memungkinkan bangsa itu memenuhi kebutuhan dan memperoleh ketahanan hidup, mencapai keterwujudan diri sebagai mahluk, mencapai kebahagiaan dan mengisi makna hidup. Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya dan secara historis bangsa Indonesia memang berangkat dari keanekaragaman budaya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan. Sejarah mencatat labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang Gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu. Hal ini pula yang menjadikan bangsa Indonesia berbeda dan dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bangsa lain. Dengan begitu, sudah seyogyanya arah pembangunan, kebijakan ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan pendidikan pun harus sejalan dengan esesnsi “multicultural” di Indonesia. Aan, (2012) mengatakan keragaman budaya Indonesia merupakan modal besar untuk membawa bangsa ini maju sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Harrison (1985, 1992, 1997) berpendapat bahwa “development is strongly influenced by a society’s basic cultural values”. Untuk itu, modal yang besar ini perlu dimaksimalkan melalui gerakan memberdayakan potensi budaya sebagai sarana kemajuan bangsa. Didasari pula bahwa bahwa bangsa Bangsa Indonesia memiliki suku sebanyak 1.128 di seluruh nusantara, dan hampir 700 bahasa ada di Indonesia, 442 bahasa sudah dipetakan, sebanyak 26 bahasa diantaranya ada di Sumtera, 10 bahasa di Jawa dan Bali, 55 bahasa di Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di Nusa Tenggara Barat, 49 bahasa di Nusa Tenggara Timur, 51 bahasa di Maluku, serta 207 bahasa di Papua, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar (Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Matsumo dan Juang, (2008: 1) mengatakan "keragaman adalah kata kunci untuk perbedaan, dan konflik serta kesalahpahaman sering muncul karena perbedaan-perbedaan.” Pada saat era reformasi tahun 1998 dalam konteks nasional terasa getarannya seperti perubahan radikal, terasa pula ada penjungkirbalikan nilai-nilai yang telah kita miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Kita mengalami krisis multidimensional melanda kita, di bidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, nilai budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable. Kita merasakan sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap antisosial, antikemapanan, dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan rasio dan emosinya. (Sumantri, 2012 dalam http://www.setneg.go.id). Bangsa kita telah mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok, ras, etnik dan agama sejak berdirinya bangsa ini. Berdasarkan data yang dimiliki Kemendagri, jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93 kasus. Kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus. Namun kemudian meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus. (http://id.berita.yahoo.com /mendagri-minta-petakan-potensi-konflik-060016957.html). Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi mengatakan, “banyak konflik besar yang disebabkan masalah sepele”. Beberapa konflik yang berskala luas dan besar, dinataranya: Kerusuhan Ambon (1999) insiden ini berasal dari perkelahian dua pemuda terkait uang sewa angkutan kota yang dibalut isu sosial, kecemburuan penduduk asli terhadap etnis pendatang BBM (Bugis-Buton-Makassar). Beberapa waktu kemudian kasus serupa terjadi di Poso, konflik Ambon dan Poso. Ditempat lain isu konflik yang berlatar belakang etnis terjadi antara etnis Madura dan Dayak di Pontianak dan meluas hingga kota Kualakapuas dan Samarinda. Dan lagi-lagi insiden ini berawal dari rebutan lahan parkir yang kemudian meluas menjadi konflik etnis. Ada pula kerusuhan yang bermotif rasisme. Kelompok etnis tertentu di Papua menggunakan ring tone yang isinya menghina kelompok etnis lain. pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Pada 18 Februari 2001 pecah juga konflik di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik ini berawal dari percekcokan antara peserta didik dari berbagai ras di sekolah yang sama dan konflik antar pemuda. (http://id.wikipedia.org/wiki/ Konflik_Sampit). Masih hangat sekali diingatan kita konflik yang terjadi di Lampung Selatan pada tanggal 22/1/2012, antara Dusun Napal, Sidowaluyo, Sidomulyo dan Kota Dalam yang dipicu oleh pengendara sepeda motor yang tidak terima ditagih biaya parkir, kemudian keduanya berseteru dan baku hantam. Masih di Kabupaten Lampung Selatan, Minggu 28/10/2012, Peringatan Hari Sumpah Pemuda dinodai bentrokan warga antar suku yang melibatkan warga Bali Nuraga, Kecamatan Way Panji, dengan warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda yang dipicu kesalahpahaman antara dua remaja putri Desa Agom ketika jatuh mengendarai motor dan ditolong oleh sekelompok remaja Desa Bali Nugraha. Dari realita di atas, terbukti bahwa telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Ironisnya, konflik tersebut disulut oleh pertentangan sepele antar individu, yang membesar sampai pada isu sektoral, etnis, dan suku. Huntington (1993, 1996) berpendapat bahwa “world is divided into eight or nine major civilizations based on enduring cultural differences that have persisted for centuries-and that the conflicts of the future will occur along the cultural fault lines separating these civilization.” Pendapat tersebut menguatkan bahwa, konflik yang akhir-akhir ini terjadi pada Bangsa Indonesia terutama terjadi di sepanjang jalur divisi budaya (cultural divisions). Statistik demografi, etnografi dan konflik tersebut menegaskan akan kebutuhan praktisi, pendidik, peneliti, dan pembuat kebijakan untuk memiliki kepentingan dalam menangani isu-isu keragaman budaya. Ditempat lain Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata bahwa, sedikitnya, sudah 17 pelajar meninggal dunia akibat tawuran di wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012. Tidak lama lagi disusul dengan tawuran antarmahasiswa di Universitas Negeri Makassar (UNM) yang mengakibatkan dua orang tewas, kamis (11/10/2012). Ini sangat bertentangan dengan harapan bahwa peserta didik merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi terdahulu dengan kualitas fisik dan psikis yang lebih baik. Terlebih dalam menghadapi era global saat ini, kesiapan remaja sebagai bagian dari sumber daya manusia yang berpotensi sangatlah diharapkan peranannya untuk turut serta membangun bangsa agar dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia . Sumantri, (2012) (dalam http://www.setneg.go.id) langkah dan upaya penyembuhan dari penyimpangan perilaku fisik dan mental psikologis bangsa ini kita mulai dengan pendekatan agama, pendidikan dan kesejahteraan material dan spiritual. Yang utama memerlukan perhatian adalah membangkitkan kesadaran jiwa untuk menggairahkan peran hati nurani kita sebagai mahluk Tuhan, sebagai pribadi dan sebagai bangsa Indonesia. Kemudian perbaiki manajemen pendidikan nasional, semua harus sepakat mau dibawa kemana bangsa ini dengan pendidikan, semua berhemat dengan biaya pendidikan. Semua harus jadi pendidik, jadi guru dan sekaligus jadi murid. Inilah revolusi pembelajaran yang inovatif yang dapat mendorong anak didik untuk belajar yang menyenangkan aktif dan produktif. Paradigma pendidikan masa sekarang yang sangat kita butuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan spirit, dengan mengembangkan pendidikan nilai budaya. Disinilah dirasa perlu pemikiran reformatif untuk mengkaji dan mengembangkan etnopedagogik sebagai sebuah alternative pendekatan berbasis kultural, dalam konteks budaya Indonesia. Dengan demikian, adalah penting untuk merefleksikan nilai-nilai budaya yang potensial untuk mendorong relevansi budaya dalam penelitian, praktek, pelatihan, dan pendidikan. Kebudayaan tidak semata-mata sebuah hasil melainkan sebuah proses. Kartadinata (2010: 19) mengatakan ”kebudayaan merupakan suatu proses dan sebagai hasil, dan pendidikan nasional adalah proses pembudayaan manusia Indonesia di dalam seting budaya nasional, sebagai kebudayaan puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah atau lokal.” Pendidikan membangun daya adaptabilitas budaya dan dalam hal tertentu pendidikan berfungsi sebagai terapi budaya/kultural. Persoalan yang tampak ialah bahwa pengembangan kebudayaan lebih berorientasi pada hasil, sebagai sebuah komoditi yang diukur dari nilai jual sehingga terjadi simplikasi makna adaptasi budaya, dan kurang menekankan kepada orientasi proses yang menekankan kepada pembentukan karakter, nilai kejuangan, patriotisme, dan cinta tanah air. Strategi upaya yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang pemisahan kebudayaan dari pendidikan secara kelembagaan dan membangun penyelenggaraan pendidikan sebagai proses pembudayaan. Penguatan budaya adalah kekuatan lokal yang harus diangkat dan menjadi program unggulan pendidikan yang dapat memperkokoh jati diri bangsa di dalam memasuki proses internasionalisasi pendidikan. Suryadi, (2011: 120) mengatakan “terbentuknya budaya dan karakter bangsa hanya dapat diwujudkan jika program dan proses pendidikan tidak terlepas dari lingkungan sosial, nilai budaya, dan nilai kemanusiaan”. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.” Dilanjutkan dalam pasal 4 ayat 1 dan 3 menyebutkan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.” Kaidah-kaidah mendasar yang terkandung dalam Undang No. 20 tahun 2003 menggambarkan bahwa “…nilai agama dan budaya menjadi dasar pendidikan tetapi sekaligus sebagai nilai-nilai yang harus dikembangkan melalui pendidikan dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan” (Kartadinata, 2010: 58). Oleh karena itu, pendidikan yang bermutu dilingkuncgan pendidikan haruslah merupakan pendidikan yang seimbang, tidak hanya mampu menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar kemampuan professional dan akademis, tetapi juga mampu membuat perkembangan yang sehat dan produktif. Para peserta didik di lingkungan pendidikan umumnya adalah orang-orang yang sedang mengalami proses perkembangan yang memiliki karakteristik, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya. Peserta didik sebagai individu yang pada umumnya adalah remaja sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becaming), yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut. Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik maupun sosial. Hurlock, (Yusuf, 2010: 196) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan “social expectacions” (harapan-harapan sosial masyarakat). Dalam arti setiap kelompok budaya mengharapkan para anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang peting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan. Harapan ini merupakan persoalan yang tidak mudah bagi peserta didik. Kehidupan peserta didik sering diwarnai dengan berbagai peristiwa yang menimbulkan pertentangan dengan lingkungan. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat merupakan sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan ini mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat yang akan mewarnai cara berfikir dan perilaku individu. Corsini, (1981) (Suherman, 2012: 9) mengatakan perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat (rapid social changes), sebagai konskuensi dari moderenisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi nilai-nilai moral etika dan gaya hidup (value system and way of life). Tidak semua individu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial tersebut, kadang-kadang dapat membuat individu jatuh sakit atau mengalami gangguan penyesuaian diri (adjustmen disorder). Perubahan-perubahan tata nilai kehidupan (psycho-social change), antara lain dapat kita lihat pada: (1) Pola hidup masyarakat yang semula sosial-religius cenderung kea rah pola kehidupan masyarakat individual, materialistis dan sekuler; (2) Pola hidup yang semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup mewah, konsumtif, dan serba instan; (3) Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal single parent family); (4) Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat, cenderung menjadi longgar dan rapuh (loose family relationship); (5) Nilai-nilai religius dan tradisional di dalam masyarakat, cenderung berubah menjadi masyarakat modern yang bercorak sekuler dan serba boleh serta toleransi berlebihan (permissive society); 6) Ambisi karir dan materi yang sebelumnya menganut azas-azas hukum dan moral serta etika, cenderung berpola tujuan menghalalkan segala cara. Nilai menjadi hal penting dalam perkembangan peserta didik karena nilai menjadi dasar bagi peserta didik dalam proses memilih dan mengambil keputusan. Suryadi (2011:121) mengatakan “integrasi nilai dari seluruh bahan dan proses ajar dapat mengakselerasi pertumbuhan moral dan karakter peserta didik.” Tentu saja nilai tidak cukup hanya diajarkan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk pembiasaan, pemahaman, keteladanan, dan aplikasi terus-menerus hingga peserta didik memperoleh makna dari suatu nilai. Memaknai suatu nilai bagi peserta didik bukanlah pekerjaan mudah, oleh karena itu tugas pendidikan adalah membantu individu memelihara, menginternalisasi, memperhalus, dan memaknai nilai sebagai landasan dan arah pengembangan diri (Nurihsan, 2009: 2). Upaya ini harus dilaksanakan secara proaktif sesuai tahap perkembangan remaja, dengan mengembangkan potensi yang dimiliki remaja dan memfasilitasi mereka secara sistemik dan terprogram untuk mencapai perkembangan yang optimal. Pendidikan dengan pendekatan budaya sangat tepat untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti Indonesia. Pendidikan dilaksanakan dengan landasan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Dengan merujuk konsep di atas, maka pendidikan hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dan damai dalam kondisi pluralistik. Semoga secarik tulisan ini dapat menjadi embrio dalam mengembangakan pendidikan yang berakar kepada nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Tulisan ini juga sedang saya dalami dalam sebuah penelitian yang saat ini sedang saya lakukan, semoga dengan selesainya penelitian saya nanti dapat menemukan sebuah model pendidikan yang mengakar pada nilai-nilai budaya dan dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Amin. Mohon maaf jika masih banyak terjadi kesalahan baik dalam tata cara penulisan dan isi serta mohon masukannya terutama tentang hal yang dapat menunjang dalam perbaikan penulisan artikel ini. Saya juga mengharapkan komentar (sopan) dari para pengunjung blog ini, dan sudah barang tentu tulisan ini juga bisa kita jadikan bahan diskusi jika ada hal-hal yang memang perlu untuk dikaji lebih lanjut. Terimakasih. Salam "Anak Bangsa"...!!! DAFTAR PUSTAKA Departemen Dalam Negeri. (2012) http://www.depdagri.go.id/news/2012/07/13/ pulau-lari-larian-segera-didaftarkan-ke-pbb [diakses pada tanggal 24 September 2012]. Fanani, M., Mardiyanto. dan Yetti, E. (1997). Analisis Struktur dan Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Harrison E. Lawrence and Samuel P. Huntington. (2000). Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington, editors. Published by Basic Book. Departemen Dalam Negeri. (2012). http://www.depdagri.go.id/news/2012/07/13/pulau-lari-larian-segera-didaftarkan-ke-pbb [diakses pada tanggal 24 September 2012]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah [diakses pada tanggal 24 September 2012]. (http://hankam.kompasiana.com/2012/08/21/indonesia-kunci-penyelesaian-rohingya/). [diakses pada tanggal 24 September 2012]. http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit [diakses pada tanggal 17 September 2012]. Kartadinata, Sunaryo. (2010). Isu-isu Pendidikan: Antara Harapan dan Kenyataan. Bandung. UPI Press. Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Mendagri. (2012). Multi Etnis Modal Jadi Provinsi Terbaik. http://www.depdagri.go.id/news/2012/03/16/mendagri-multi-etnis-modal-jadi-provinsi-terbaik [diakses pada tanggal 24 September 2012]. Menkokesra. (2012). http://www.menkokesra.go.id/content/10-persen-bahasa-dunia-ada-di-indonesia [diakses pada tanggal 22 September 2012]. Matsumoto, David and Juang, Linda. (2008). Culture and Psychology. Fourth Edition. USA. Publisher: Michael Sordi. Sumantri, Endang. (2012). Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan. [http://www.setneg.go.id diakses tanggal 18 November 2012). Sumantri, Endang & Sofyan Sauri. 2006. Konsep Dasar Pendidikan Nilai. Bandung: Pribumi Mekar. Suherman dan Budiman, N. (2011). Pendidikan dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling. Bandung: UPI Press. Suherman, Uman. (2012). Membangun Karakter dan Budaya Bangsa Melalui Bimbingan Komprehensif Berbasis Nilai-nilai Al Qur’an. Pidato Pengukuhan Guru Besar/Profesor dalam Bidang Bimbingan dan Konseling pada FKIP UPI. Suryadi, Ace. (2011). Pendidikan Karakter Bangsa: Pendekatan Jitu Menuju Sukses Pembangunan Pendidikan Nasional. Editor: Dasim Budimansyah dan Kokom Komalasari. (Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa). Bandung: Laboratorium PKN UPI. Suryosubroto, B. (2010). Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sutrisno, Mudji & Putranto, Hendar. (2005). Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tersedia di www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf diunduh 1 maret 2012. Yusuf, Sy. & Nurihsan, A. Juntika. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar